Selasa, 14 Desember 2010

Ketika Ali Dirayu adik Ipar

Alkisah, pada masa kekhalifahan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Aqil sudaranya bertamu ke rumahnya di kota kufa. Ali memberi tahu puta kesayangannya, Hasan, agar menghadiahkan beberapa pakaian untuk pamanya. maka Hasnpun menghadiahkan sebuah pakaian dan sehelai syal miliknya.

Malampin menjelang dan udara sangatlah panaas, Ali dan Aqil pun duduk bersama-sama diatas bubungan dal Al-Marah, sehingga akhirnya saat makan malampun tiba. Aqil yang mengangap dirinya sebagai tamy khalifah, membayangkan hidangan yang bermacam-macam. Tapi apa yang dilihatnya sangatlah berbeda. hidangan malam itu amat sangat sederhana bersahaja. "Hanya inikah jamuan makan malam kita?" tanya Aqil penuh heran.
"Bukankah ini Nikmat Allah?" jawab Ali, "Aku sungguh bersyukur kepada-Nya atas nikmat ini," tambahnya .

"Kalau demikian, harus segera kukatakan maksud kedatanganku, kemudian aku akan pulang. aku mempunyai hutang. Tolong selesaikan hutangku secepat mungkin, dan bantulah sudaramu ini berapapun yang kau sanggup agar aku bisa pulang kerumah dengan beban yang ringan," kata Aqil lagi.

"Berapa Hutangmu..?"
"Seratus rubu Dirham."
"Seratus ribu dirham" Oh.... Sungguh banyak.

Saudaraku, sayang aku tak mempunyai uang sebanyak itu, agar aku dapat membantumu membayar hutangmu. Tapi sabarlah sampai tanggal pembayaran gaji nanti. kelak akan ku sishkan sebagian dari gajiku untukmu, atas dasar Muwashat dan persaudaraan. Kalau bukan karena tanggungan keluarga , maka akanku berikan semuah gajiku dan tidak akan kusisihkan sedikitpun untukku."

"Apa?", sahut Aqil heran. "Bersabar sampai tanggal gaji? Bukankah Bitul Mal dan kekayaan negara ada ditanganmu? mengapa kau perlu mengambil gajimu? seberapa banyak yang kau inginkan dapat kau ambil di baitul mal itu, lalu mengapa kau harus menundanya sampai pembayaran gaji. memangnya berapa sih bagianmu dari baitul mal? seandainya semuah gajimu kau berikan kepadaku, apakah itu akan cukup melunasi utangku?"

"Sungguh tak kusangka kau, berpendapat demikian. Apa hubungan kau dan Aku dengan ada dan tidaknya kas negara? Aku dan engkau sama dengan kaum muslimin lainn. Memang kamu adalah sudaraku dan aku harus membantumu sebatas yang memungkinkan, namun itu harus dari hartaku , bukan dari harta Baitul Mal milik kaum muslimin," Imam Ali menjelaskan.

Agak lama mereka berbicara. Aqil dengan berbagai cara mendesk Ali agar bisa meberinya uangsecukupnya dari Baitul Mal agar dapat melunasi utangnya.

Dari atas bubungan Dar Al-Imrah tersebut, tampak pasar kufah dan peti-peti uang para pedagang pasar. Ketika Aqil terus mendesak, Ali berkata kepadanya; "kalau kau masih terus mendesak dan tidak menerima ucapanku, aku ada usel untukmu. jika kau mepraktikannya niscaya kau bisa melunasi seliuruh hutangmu, bahkan kamu bisa memiliki lebih dari itu."

"Bagaimana caranya." tanya akil
"Dipasar baynyak peti-peti uang. hari sudah gelap dan pasar juga sudah sepi. pergilah kebawah dan pecahkan peti-peti itu, lalu ambillah sebanyak mungkin uang yang kau inginkan."
"milik siapakah peti-peti itu?"
"ya tentu milik para pedagang pasar ini. Disitulah mereka menyimpan uangnya?."

"Aneh," kata Aqil. "kau menyarankan agar aku memecahkan peti-peti kas para pedagang lalu kucuri harta mereka? Bukankah mereka telah bekerja kerasuntuk mendapatkan uang tersebut dan bertawakal kepada Allah?"

"kalau begitu," sahut Ali, "Kenapa kau usulkan kepadaku untuk membuka kas BAitul Mal milik kaum muslimin untukmu? Siapa pemilik sebenarnya Baitul Mal ini? Atau kamu ingin mendengarkan usul yanglain?

"Bagaimana"," tanya Aqil.
"Kalau kamu bersedia mari kita hunuskan pedang kita dan peri kekota tua, Hirah. disanalah sudagar-saudagar dan kaya raya tinggal. tengah malam kita berdua pergi kesana merampok dan membunuh satu dari mereka."

"Saudaraku! aku datang bukan untuk mencuri sehingga kau harus berbicara hal-hal demikian. Kukatakan kau bisa memberikan uang dari kas Baitul Mal dan kekayaan negara, agar dapat kulunasi hutang-hutangku,"Segrah Aqil.

Sebenarnya kalu kita curu harata orang itu adalah lebih baik daripaada mencuri haarta ratusan ribu kaum muslimin. Bagaimana sih logikamu? mengambil harta orang dengan paksa adalah mencuri, tapi mengambil harta orang umum bukan mencuri namanya? kau kira "mencuri" hanya terbatas merampas harta orang lain dan menyerangnya saja? jenis mencuri yang paling keji adalah apa yang kamu usulkan kepadaku saat ini." Jelas Ali bin Abi thalib mengakhiri pembicaraannya.

0 komentar:

Posting Komentar | Feed

Posting Komentar



 

jawe99 Copyright © 2009 Premium Blogger Dashboard Designed by SAER